Semoga KH. Muhammad Hanif Muslih, Lc. lekas sembuh | Masrohan Foundation

Labels

Rabu, Desember 02, 2020

Semoga KH. Muhammad Hanif Muslih, Lc. lekas sembuh

KH. Muhammad Hanif Muslih., L.c lahir pada bulan Desember 1955 di Mranggen. Beliau merupakan anak keempat dari sebelas bersaudara, dari pasangan KH. Muslih Abdurrahman dan Nyai. Hj. Marfu’ah.

Ayahnya adalah ulama besar pada era 1950 an hingga wafatnya pada tahun 1981. Mbah Muslih juga pernah menduduki posisi rais ‘am di Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN), organisasinya para pengamal thariqah di tanah air.

KH. Muhammad Hanif Muslih., L.c melepas masa lajangnya dengan menikahi Nyai. Fashihah, gadis asal kendal yang sedang nyantri di Jombang. Beliau nikah pada bulan maret 1983. Buah dari pernikahannya, beliau dikaruniai empat anak.

KH. Muhammad Hanif Muslih., L.c kecil, memulai pendidikannya dengan belajar kepada para pengajar madrasah di lingkungan pesantrennya. Selain itu, setiap bulan Ramadhan, beliau mengikuti pengajian kitab yang diasuh langsung oleh sang ayah di masjid Pesantren Futuhiyyah.

Ketika duduk di kelas tiga Madrasah Aliyah, beliau diajak kakak iparnya, KH. Muhammad Ridwan untuk menunaikan ibadah haji, dengan naik kapal laut. Tepat ketika usai menuntaskan seluruh rangkaian ibadah haji, beliau menerima surat dari sang ayah yang memerintahkannya untuk tetap tinggal dan menuntut ilmu di Tanah Suci. Namun karena waktu masa penerimaan murid baru baru saja usai, terpaksa beliau harus menunggu tahun ajaran baru berikutnya.

Selama hampir setahun itu ia menghabiskan waktu dengan bekerja sebagai sekretaris seorang syekh yang memiliki usaha pengelolaan haji di siang hari. Di rumah sang syekh itu pula beliau tinggal bersama beberapa kawan Indonesianya. Dan malam harinya, usai shlat maghrib, ia mengikuti pengajian Tafsir Ibnu Katsir di Babussalam, Masjidil Haram yang diasuh oleh Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki.

Tahun 1976 Hanif mendaftarkan diri di Universitas Madinah dengan ijazah Madrasah Aliyah Futuhiyyah yang dikirimkan ayahnya. Namun sayangnya, almamaternya waktu itu belum mu’adalah (disetarakan) di Saudi. Karena itu ia harus mengulang sekolah lagi selama setahun di kelas tiga Madrasah Aliyyah Madinah. Baru pada tahun berikutnya, 1977, ia bisa masuk Universitas Madinah.

Bersamaan dengan Hanif ada lima alumnus Pesantren Futuhiyyah lain yang diterima di Universitas Madinah. Kebetulan kelimanya juga berasal dari daerah Mranggen. Mereka pun lalu bersepakat akan mengambil jurusan yang berbeda-beda, agar saat kembali ke tanah air nanti akan bersama-sama memperkaya pesantren almamater dengan keilmuan yang beragam.

“Ternyata, setelah pulang ke tanah air, semua teman-teman saya diambil menantu oleh para kiai dari berbagai daerah. Tinggal saya saja yang masih tinggal di Mranggen,” kenang KH. Hanif sambil terkekeh.

Dalam rembugan itu, Hanif sendiri kebagian tugas mengambil jurusan Bahasa Arab, yang terus digelutinya hingga meraih gelar Lc.

Ketika disinggung mengenai aktivitas kethariqahannya, KH. Muhammad Hanif Muslih., L.c mengaku sudah ditawari untuk berbai’at oleh ayahnya sejak ia masih kuliah di Madinah. Namun waktu ia yang merasa belum siap menolak tawaran abahnya.

Ketika sang ayah wafat, dan Hanif pulang ke tanah air, kakaknya, Kiai Luthfi Hakim juga menawarinya untuk dibai’at. Namun lagi-lagi Kiai Hanif menolak karena merasa belum siap. Ia merasa sebagian besar waktunya saat itu habis untuk mengurus Rabithah Ma’ahidil Islamiyyah (RMI) Jawa Tengah yang selama tiga periode dipimpinnya.

Sejak pulang dari Madinah, beliau dan Kiai Luthfi memang berbagi tugas. Sang kakak konsentrasi di dalam pondok mengurus santri dan thariqah. Dan Hanif yang kebagian tugas urusan luar pesantren dan masalah keumatan.

Namun pada tahun 2003, tepat dua tahun sebelum Kiai Luthfi wafat, Hanif dipanggil sang kakak dan diultimatum, “Mau atau tidak mau, sekarang juga kamu saya bai’at.”

KH. Muhammad Hanif Muslih., L.c yang sudah merasa semakin tua dan lebih tenang pun menerima. Ia menjalani tarbiyyah (pendidikan sufistik) dari sang kakak dan pamannya KH. Ahmad Muthohhar yang juga diangkat sang ayah menjadi mursyid. Tak lama menjalani tarbiyyah, Hanif telah dianggap cukup dan diangkat menjadi khalifah, kemudian mursyid penuh.

0 komentar: